Hakikat
Manusia Dalam Islam
Definisi Manusia Menurut Al- Toumy Al- Syaibani
- Manusia
sebagai makhluk Allah yang paling mulia di muka bumi.
- Manusia
sebagai khalifah di muka bumi.
- Insan
makhluk sosial yang berbahasa.
- Insan
mempunyai tiga dimensi yaitu: badan, akal dan ruh
- Insan
dengan seluruh perwatakannya dan ciri pertumbuhannya adalah hasil
pencapaian 2 faktor, yaitu faktor warisan dan lingkungan
- Manusia
mempunyai motivasi, kecenderungan dan kebutuhan awal baik yang diwarisi
mauun yang diperoleh dalam proses sosialisasi.
- Manusia
mempunyai perbedaan sifat antara yang satu dengan yang lainnya.
- Insan mempunyai sifat luwes, lentur, bisa dibentuk ,
bisa diubah.
1.
Hakikat
Manusia
Manusia menurut Allah adalah makhluk yang diciptakan Allah SWT dari tanah
liat kering dan diberikan ruh ke dalam jasad manusia ini dan makhluk yang
dimuliakan atas segala ciptaan-Nya.
Allah telah menurunkan Al Qur’an yang diantara ayat-ayat-Nya adalah
gambaran tentang manusia.
Berbagai istilah digunakan untuk menunjukkan aspek kehidupan manusia,
diantaranya:
Ø
Dari aspek historis, disebut dengan Bani Adam “Hai
bani Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) masjid makan dan
minumlah dan janganlah berlebih-lebihan. Seunguhnya Allah tidak menyukai orang–orang
yang berlebih –lebihan”(QS 7:31).
Ø
Dari aspek biologis, disebut dengan Basyar “Dan
berkatalah pemuka–pemuka yang kafir di antara kaumnya dan yang mendustakan akan
menemui hari akhirat(kelak) dan yang telah (Kami mewahkan mereka dalam
kehidupan dunia)(orang) ini tidak lain hanyalah manusia (basyar) seperti kamu,
dia makan dari apa yang kamu makan dan minum dari apa yang kamu minum”(QS
23:24).
Ø
Dari aspek kecerdasan, disebut dengan Insan “Dia
menciptakan manusia (insan) mengajarnya pandai berbicara”(QS 55:3-4)
Ø
Dari aspek sosiologis, disebut dengan An-Nas “Wahai
manusia (nas) sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dan orang–orang
sebelum kamu agar kamu bertakwa”(QS 2:21).
Ø
Dari aspek posisinya, disebut dengan Hamba “Maka
apakah mereka tidak melihat langit dan bumi yang ada di hadapan dan di belakang
mereka?jika Kami menghendaki niscaya Kami benamkan mereka di bumi atau Kami
jatuhkan mereka gumpalan dari langit. Sesungguhnya pada yang demikian itu
benar–benar terdapat tanda ( kekuasaan Tuhan) bagi setiap hamba yang kembali
kepadanya”(QS 34:9)
Selain istilah-istilah itu ada juga sebutan bagi manusia sesuai dengan
keadaannya.
1. Makhluuq (yang diciptakan) Manusia
merupakan makhluuq atau yang diciptakan dari tanah liat dan diberikan ruh ke
dalamnya oleh Allah ke dunia ini dengan tujuan hanya untuk beribadah kepada
Allah. Hal ini sesuai dengan: QS AL HIJR 28 “Dan ingatlah ketika Tuhanmu
berfirman kepada para malaikat: Sesungguhnya Aku akan menciptakan manusia dari
tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk.Maka
apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya dan telah meniupkan ke dalamnya
ruh (ciptaan)-Ku, maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud”.
a.
Berada
dalam fitrah Fitrah dapat membawa manusia ke arah kebaikan misalnya hati nurani
dapat membedakan mana yang baik, dan mana yang buruk. [QS Ar Ruum:30]
b.
Lemah
Sebagai makhluk, manusia juga lemah karena manusia juga diciptakan dengan
keterbatasan akal dan fisik. [QS An Nisaa’:48]
c.
Bodoh
Beban amanat yang begitu besar dari Allah, diterima oleh manusia, disaat
makhluk lainnya tidak menyanggupi amanat tersebut karena beratnya amanat
tersebut. [QS Al Ahzab;72]
d. Memiliki kebutuhan Sebagai
makhluk yang terbatas secara fisik dan kemampuan. Maka sangat mungkin manusia
memiliki kebutuhan atau kehendak kepada Allah. [QS Faathir:15]
2. Mukarram (yang dimuliakan) Manusia
merupakan makhluk yang juga dimuliakan. Buktinya adalah saat manusia pertama
tercipta, seluruh malaikat disuruh bersujud kepadanya (bukan untuk menyembah).
Hal ini tercantum dalam QS Al Hijr 29: “Maka apabila Aku telah menyempurnakan
kejadiannya dan telah meniupkan ke dalamnya ruh (ciptaan)Ku, maka tunduklah
kamu kepadanya dengan bersujud.”
a.
Ditiupkan
ruh [QS As Sajdah:9]
b.
Diberi
keistimewaan [QS Al Isra:70]
c.
Ditundukkan alam untuknya. Semua alam ini
termasuk dengan isinya ini Allah peruntukkan untuk manusia. [QS Al
Jaatsiyah:12-13]
- Mukallaf (yang mendapatkan beban)
a.
Ibadah
Manusia secara umum diciptakan oleh Allah untuk beribadah sebagai konsekuensi
dari kesempurnaan yang diperolehnya. [QS Adz Dzaariyaat:56]
b.
Khilafah Allah mengetahui siapa sebenarya
manusia, sehingga Allah tetap menjadikan manusia sebagai khalifah di bumi
walaupun malaikat tidak setuju. [QS Al Baqarah:30]
- Mukhayyar (yang bebas memilih) Manusia
selain dimuliakan, juga diberikan kebebasan untuk memilih, memilih untuk
beriman kepada Allah ataukah kafir terhadap Allah. Itu semua tergantung
dari pengetahuan yang manusia miliki tapi sesungguhnya fitrah manusia
adalah beriman kepada Allah. Manusia
diberi kebebasan memilih untuk beriman atau kafir pada Allah. [QS Al kahfi
:29]
- Majziy (yang mendapat balasan) Sebagai
konsekuensi menjadi makhluk yang memiliki kebebasan maka manusia juga
merupakan makhluk yang kelak akan mendapat balasan di akherat. Balasan
baik atau buruk, semuanya tergantung dari perbuatan-perbuatan yang manusia
lakukan di dunia ini. Jika manusia itu berbuat baik maka di akherat akan
mendapat balasan berupa surga tapi jika perbuatan selama di dunia adalah
buruk maka manusia itu akan mendapat balasan berupa neraka. Hakikat manusia dalam islam Hakikat manusia menurut Allah adalah makhluk yang
dimuliakan, dibebani tugas, bebas memilih dan bertanggung jawab.
a.
Surga
Manusia diminta pertanggungjawaban atas segala sesuatu yang dilakukannya, Allah
menyediakan surga untuk mereka yang beriman dan beramal soleh yaitu mereka yang
menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangannya. [QS As Sajdah:19, Al
Hajj:14]
c.
Neraka
Balasan di akhirat terhadap perbuatan manusia adalah bentuk keadilan yang Allah
berikan di akhirat. Mereka yang tidak menjalankan perintah Allah mendapatkan
hukuman yang setimpal yaitu dimasukkan ke dalam neraka. [QS As Sajdah:20]
2.
Persamaan
dan Perbedaan Manusia dengan Makhluk Lain.
Manusia dan makhluk lainnya itu memiliki persamaan dan
juga perbedaan. Salah satunya adalah manusia dan makhluk lain memiliki tujuan
yang sama dalam hal penciptaan yaitu untuk beribadah kepada Allah sedangkan
dalam hal raga dan ruh manusia memiliki perbedaan. Raga manusia termasuk ke
dalam derajat terendah diantara makhluk lainnya sedangkan ruh manusia termasuk
ke dalam derajat tertinggi.
Hikmah yang terkandung dalam hal ini adalah manusia
mengemban beban amanat pengetahuan tentang Allah sebab tidak sesuatupun di
dunia ini yang memiliki kekuatan yang mampu mengemban beban amanat ini.Manusia
mempunyai kekuatan ini melalui esensi sifat-sifat ruh yang diberikan Allah.
Tidak ada satupun di dunia ruh yang menyamai kekuatan ruh ini,baik itu malaikat
maupun iblis.
Berikut ini persamaan dan perbedaan manusia dengan
makhluk lainnya:
Ø
Persamaan
v
Semua makhluk termasuk manusia adalah makhluk
yang diciptakan oleh Allah SWT.
v
Tujuan penciptaannya adalah hanya untuk
beribadah kepada Allah.
v
Semua makhluk akan kembali kepada Allah.
v
Dan tiap-tiap makhluk ada di dalam penjagaan dan
pengawasan Allah.
Ø
Perbedaan
v
Manusia memiliki hati nurani dan juga nafsu tapi
makhluk lain hanya memiliki salah satunya saja.
v
Derajat manusia sejati adalah lebih tinggi dari
makhluk yang lain.
v
Manusia tercipta dari tanah sebagai jasad dan
nur sebagai hati. Sedangkan makhluk lain tidak ada yang tercipta dari tanah dan
nur.
v
Bentuk ibadah manusia telah diatur di dalam Al
Qur’an.
v
Manusia diberi kebebasan untuk memilih jalan
kehidupannya.
3.
Fungsi
dan Peranan yang Diberikan Allah kepada Manusia Di dalam Al Qur’an disebutkan
fungsi dan peranan yang diberikan Allah kepada manusia.
Ø
Menjadi abdi Allah Secara sederhana hal ini
berarti hanya bersedia mengabdi kepada Allah dan tidak mau mengabdi kepada
selain Allah termasuk tidak mengabdi kepada nafsu dan syahwat. Yang dimaksud
dengan abdi adalah makhluk yang mau melaksanakan apapun perintah Allah meski
terdapat resiko besar di dalam perintah Allah. Abdi juga tidak akan pernah
membangkang terhadap Allah. Hal ini tercantum dalam QS Az Dzariyat : 56 “Dan
tidak Aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembahKu”
Ø
Menjadi saksi Allah Sebelum lahir ke dunia ini,
manusia bersaksi kepada Allah bahwa hanya Dialah Tuhannya.Yang demikian
dilakukan agar mereka tidak ingkar di hari akhir nanti. Sehingga manusia sesuai
fitrahnya adalah beriman kepada Allah tapi orang tuanya yang menjadikan manusia
sebagai Nasrani atau beragama selain Islam. Hal ini tercantum dalam QS Al
A’raf: 172 “Dan (ingatlah), keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan
Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman):”Bukankah Aku
ini Tuhanmu?”. Mereka menjawab:”Betul (Engkau Tuhan Kami),kami menjadi
saksi”.(Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak
mengatakan:”Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah
terhadap ini(keesaan Tuhan)”
Ø
Menjadi khalifah Allah Khalifah Allah sebenarnya
adalah perwakilan Allah untuk berbuat sesuai dengan misi yang telah ditentukan
Allah sebelum manusia dilahirkan yaitu untuk memakmurkan bumi. Khalifah yang
dimaksud Allah bukanlah suatu jabatan sebagai Raja atau Presiden tetapi yang
dimaksud sebagai kholifah di sini adalah seorang pemimpin Islam yang mampu
memakmurkan alam dengan syariah-syariah yang telah diajarkan Rosulullah kepada
umat manusia. Dan manusia yang beriman sejatilah yang mampu memikul tanggung
jawab ini. Karena kholifah adalah wali Allah yang mempusakai dunia ini.
Sehingga seorang khalifah harus benar-benar memiliki akhlak Al Quran dan Al
Hadis. Dengan berpedoman pada QS Al Baqarah:30-36, maka status dasar manusia
adalah sebagai khalifah (makhluk penerus ajaran Allah) sehingga manusia harus :
1. Belajar
Manusia sebagai khalifah harus mau belajar. Obyek belajar nya adalah ilmu Allah
yang berwujud Al Quran dan ciptaanNya.Hal ini tercantum juga di dalam QS An
Naml: 15-16 dan QS Al Mukmin: 54
2. Mengajarkan
Ilmu Khalifah yang telah diajarkan ilmu Allah maka wajib untuk mengajarkannya
kepada manusia lain.Yang dimaksud dengan ilmu Allah adalah Al Quran dan juga Al
Bayan
3. Membudayakan
Ilmu Ilmu Allah tidak hanya untuk disampaikan kepada manusia lain tetapi juga
untuk diamalkan sehingga ilmu yang terus diamalkan akan membudaya. Hal ini
tercantum pula di dalam QS Al Mu’min:35
Dari ketiga peran tersebut,maka semua yang dilakukan
oleh khalifah harus untuk kebersamaan sesama umat manusia dan hamba Allah serta
pertanggungjawabannya kepada Allah, diri sendiri, dan masyarakat.
4.
Manusia
yang Sempurna Menurut Islam
Apa ciri manusia sempurna menurut islam? Manusia sempurna menurut Islam
tidak mungkin di luar hakikatnya. Berikut ini adalah beberapa ciri manusia
menurut islam :
Ø
Jasmani yang sehat serta kuat dan
berketerampilan Orang Islam perlu memiliki jasmani yang sehat serta kuat,
terutama berhubungan dengan keperluan penyiaran dan pembelaan serta penegakan
ajaran Islam. Dilihat dari sudut ini maka Islam mengidealkan muslim yang sehat
serta kuat jasmaninya. Islam juga menghendaki agar orang Islam itu sehat
mentalnya karena inti ajaran Islam (iman) adalah persoalan mental. Kesehatan
mental berkaitan erat dengan kesehatan jasmani. Karena kesehatan mental
penting, maka kesehatan jasmani pun penting pula. Karena kesehatan jasmani itu
sering berkaitan dengan pembelaan Islam, maka sejak permulaan sejarahnya
pendidikan jasmani (agar sehat dan kuat) diberikan oleh para pemimpin Islam.
Pendidikan itu langsung dihubungkan dengan pembelaan Islam, yaitu berupa
latihan memanah, berenang, menggunakan senjata, dsb.
Ø
Cerdas dan pandai Dalam menginginkan pemeluknva
cerdas serta pandai. Itulah ciri akal yang berkembang secara sempurna. Cerdas
ditandai oleh adanya kemampuan menyelesaikan masalah dengan cepat dan tepat,
sedangkan pandai ditandai oleh banyak memiliki pengetahuan, jadi banyak
memiliki informasi. Salah satu ciri Muslim yang sempurna ialah cerdas serta
pandai. Kecerdasan dan kepandaian itu dapat ditilik melalui indikator-indikator
sebagai berikut ini. Perlunya ciri akliah dimiliki oleh Muslim dapat diketahui
dari ayat-ayat al-Quran serta hadis Nabi Muhammad saw. Ayat dan hadis itu
biasanya diungkapkan dalam bentuk perintah agar belajar dan ada perintah
menggunakan indera dan akal, atau pujian kepada mereka yang menggunakan indera
dan akalnya. Sebagian kecil dari ayat al-Quran dan hadis tersebut dituliskan
berikut ini yang artinya : “Katakanlah, samakah antara orang yang mengetahui
dan orang yang tidak mengetahui? Sesungguhnya hanya orang yang berakallah yang
dapat menerima pelajaran”.(Az-Zumar:9) “Sesungguhnya yang takut kepada Allah di
antara hamba-Nya adalah ulama.”(Al-Fathir:28) “Dan perumpamaan ini Kami buat
untuk manusia, tidak mungkin dapat memahaminya kecuali orang-orang yang
berilmu” (Al-Ankabut: 43) Ayat-ayat di atas jelas menunjukkan pentingnya ilmu
(pengetahuan) dimiliki orang Islam, pentingnya berpikir, dan pentingnya
belajar. Nabi Muhammad SAW. menyatakan bahwa pengetahuan dapat diperoleh dengan
cara belajar. Jadi, kalau begitu orang Islam diperintah agar belajar. Seperti
Surat al-'Alaq ayat 1 yang mengandung pengertian bahwa orang Islam seharusnya
dapat membaca. Ayat ini juga mengandung perintah agar orang Islam belajar
karena pada umumnya kemampuan membaca itu diperoleh dari belajar. Dalam
al-Quran surat al-Nahl ayat 43 Tuhan menyuruh orang Islam bertanya jika ia
tidak tahu. Ini dapat diartikan sebagai suruhan belajar. Jadi, jelaslah bahwa
Islam menghendaki agar orang Islam berpengetahuan. Ini adalah salah satu ciri
akal yang berkembang baik. Akal yang berkembang baik itu berisi banyak
pengetahuan sains, filsafat, serta mampu menyelesaikan masalah secara ilmiah
dan atau filosofis. Akal yang cerdas adalah karunia Tuhan. Indikatornva ialah
kecerdasan umum (IQ). Kecerdasan itu, selain ditentukan oleh Tuhan, juga
berkaitan dengan keturunan. Kesehatan jiwa dan fisik jelas berkaitan pula
dengan kecerdasan tersebut. Kalau begitu, kesehatan dan kekuatan seperti yang
telah diuraikan sebelum ini memang berkaitan juga dengan tingkat kecerdasan.
Ø
Rohani yang Berkualitas Tinggi Rohani yang
dimaksud disini ialah aspek manusia selain jasmani dan akal (logika).
Pengertian atau hakikat rohani masih sangt sukar untuk ditemukan, namun banyak
yang mengaitkan dengan kalbu saja. Kalbu di sini, sekalipun tidak jelas hakikatnya,
apalagi rinciannva, gejalanya jelas. Gejalanya itu diwakilkan dalam istilah
rasa. Rincian rasa tersebut misalnya sedih, gelisah, rindu, sabar, serakah,
putus asa, cinta, iman. Kalbu vang berkualitas tinggi itu adalah kalbu yang
penuh berisi iman kepada Allah; atau dengan ungkapan lain, kalbu yang takwa
kepada Allah. Kalbu yang penuh iman itu mempunyai gejala-gejala yang amat
banyak; katakanlah rinciannya amat banyak. Kalbu yang iman itu ditandai bila
orangnya salat. Ia salat khusyuk (al-Mu'min: l-2); bila mengingat Allah, kulit
dan hatinya tenang (al-Zumar:23); bila disebut nama Allah, bergetar hatinya
(al-Hajj:34-35); bila dibacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, mereka sujud dan
menangis (Maryam:58, al-Isra':109). Itulah ciri utama hati yang penuh iman atau
takwa. Dari situlah akan muncul manusia yang berpikir dan bertindak sesuai
dengan kehendak Tuhan.Jadi,dapatlah disimpulkam bahwa manusia sempurna dalam
pandangan Islam ialah manusia yang hatinya penuh iman atau takwa kepada Tuhan.
Adanya manusia menurut al-Qur’an adalah karena sepasang manusia pertama
yaitu Bapak Adam dan Ibu Hawa. Disebutkan bahwa, dua insan ini pada awalnya
hidup di surga. Namun, karena melanggar perintah Allah maka mereka diturunkan
ke bumi. Setelah diturunkan ke bumi, sepasang manusia ini kemudian
beranak-pinak, menjaga dan menjadi wakil-Nya di dunia baru itu. Tugas yang amat
berat untuk menjadi penjaga bumi.
Karena beratnya tugas yang akan diemban manusia, maka Allah memberikan pengetahuan
tentang segala sesuatu pada manusia. Satu nilai lebih pada diri manusia, yaitu
dianugerahi pengetahuan. Manusia dengan segala kelebihannya kemudian ditetapkan
menjadi khalifah dibumi ini. Satu kebijakan Allah yang sempat ditentang oleh
Iblis dan dipertanyakan oleh para malaikat. Dan Allah berfirman: “....Hai Adam, beritahukanlah kepada mereka nama-nama mereka...” (al-Baqarah ayat 33). Setelah Adam menyebutkan nama-nama itu pada malaikat, akhirya Malaikatpun tahu bahwa manusia pada
hakikatnya mampu menjaga dunia.
Karena beratnya tugas yang akan diemban manusia, maka Allah memberikan pengetahuan
tentang segala sesuatu pada manusia. Satu nilai lebih pada diri manusia, yaitu
dianugerahi pengetahuan. Manusia dengan segala kelebihannya kemudian ditetapkan
menjadi khalifah dibumi ini. Satu kebijakan Allah yang sempat ditentang oleh
Iblis dan dipertanyakan oleh para malaikat. Dan Allah berfirman: “....Hai Adam, beritahukanlah kepada mereka nama-nama mereka...” (al-Baqarah ayat 33). Setelah Adam menyebutkan nama-nama itu pada malaikat, akhirya Malaikatpun tahu bahwa manusia pada
hakikatnya mampu menjaga dunia.
Dari uraian ini dapat dipahami bahwa manusia adalah makhluk paling
sempurna yang diciptakan Allah SWT. Dengan segala pengetahuan yang diberikan
Allah manusia memperoleh kedudukannya yang paling tinggi dibandingkan dengan
makhluk lainnya. Inipun dijelaskan dalam
firman Allah SWT: “.....kemudian kami katakan kepada para Malaikat: Bersujudlah
kamu kepada Adam”; maka merekapun bersujud kecuali Iblis, dia enggan dan
takabur dan adalah ia termasuk golongan orang-orang yang kafir” (al-Baqarah
ayat 34). Ini menunjukkan bahwa manusia memiliki keistimewaan dibanding makhluk
Allah yang lainnya, bahkan Malaikat sekalipun. Menjadi menarik dari sini jika
legitimasi kesempurnaan ini diterapkan pada model manusia saat ini, atau manusia-manusia
pada umumnya selain mereka para Nabi dan orang-orang maksum. Para nabi dan orang-orang
maksum menjadi pengecualian karena sudah jelas dalam diri mereka terdapat
kesempurnaan diri, dan kebaikan diri selalu menyertai mereka. Lalu, kenapa
pembahasan ini menjadi menarik ketika ditarik dalam bahasan manusia pada umumnya.
Pertama, manusia umumnya nampak lebih sering melanggar perintah Allah dan
senang sekali melakukan dosa. Kedua, jika demikian maka manusia semacam ini
jauh di bawah standar malaikat yang selalu beribadah dan menjalankan
perintah Allah SWT, padahal dijelaskan dalam al-Qur’an Malaikatpun sujud pada manusia.
perintah Allah SWT, padahal dijelaskan dalam al-Qur’an Malaikatpun sujud pada manusia.
Kemudian, ketiga, bagaimanakah mempertanggungjawabkan firman Allah di
atas, yang menyebutkan bahwa manusia adalah sebaik-baiknya makhluk Allah. Tiga
hal inilah yang menjadi inti pembahasan ini. Dalam al-Qur’an dijelaskan
bahwa manusia memang memiliki kecenderungan untuk melanggar perintah
Allah, padahal Allah telah menjanjikannya kedudukan yang tinggi. Allah
berfirman: “Dan kalau Kami menghendaki sesungguhnya Kami tinggikan (derajat)nya
dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa
nafsunya yang rendah.............” (al-A’raaf, ayat 176). Dari ayat ini dapat
dilihat bahwa sejak awal Allah menghendaki manusia untuk menjadi hamba-Nya yang
paling baik, tetapi karena sifat dasar alamiahnya, manusia mengabaikan itu. Ini
memperlihatkan bahwa pada diri manusia itu terdapat potensi-potensi baik, namun
karena potensi itu tidak didaya gunakan maka manusia terjerebab dalam lembah kenistaan,
bahkan terkadang jatuh pada tingkatan di bawah hewan. Satu hal yang tergambar
dari uraian di atas adalah
untuk mewujudkan potensi-potensi itu, manusia harus benar-benar menjalankan perintah dan menjauhi larangan-Nya. Dan tentu manusia mampu untuk menjalani ini. Sesuai dengan firman-Nya: “Allah tidak akan membebani seseorang melainkan dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikannya) dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya.......” (al-Baqarah ayat 286). Jelas sekali bahwa Allah tidak akan membebani hamba-Nya dengan kadar yang tak dapat dilaksanakan oleh mereka.
untuk mewujudkan potensi-potensi itu, manusia harus benar-benar menjalankan perintah dan menjauhi larangan-Nya. Dan tentu manusia mampu untuk menjalani ini. Sesuai dengan firman-Nya: “Allah tidak akan membebani seseorang melainkan dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikannya) dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya.......” (al-Baqarah ayat 286). Jelas sekali bahwa Allah tidak akan membebani hamba-Nya dengan kadar yang tak dapat dilaksanakan oleh mereka.
Kemudian, bila perintah-perintah Allah itu tak dapat dikerjakan, hal itu
karena
kelalaian manusia sendiri. “ Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam keadaan kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shaleh dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.” Mengenai kelalaian manusia, melalui surat
al-Ashr ini Allah selalu memperingatkan manusia untuk tidak menyia-nyiakan waktunya hanya untuk kehidupan dunia mereka saja. Bahkan Allah sampai bersumpah pada masa, untuk menekankan peringatan-Nya pada manusia. Namun, lagi-lagi manusia cenderung lalai dan mengumbar hawa nafsunya. Unsur-unsur dalam diri manusia. Membahas sifat-sifat manusia tidaklah lengkap jika hanya menjelaskan bagaimana sifat manusia itu, tanpa melihat gerangan apa di balik sifat-sifat itu. Murtadha Muthahari di dalam bukunya Manusia dan Alam Semesta sedikit menyinggung hal ini. Menurutnya fisik manusia terdiri dari unsur mineral, tumbuhan, dan hewan. Dan hal ini juga dijelaskan di dalam firman Allah : Yang membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknya dan memulai penciptaan manusia dai tanah. Kemudian Dia menjadikan keturunannya dari saripati air yang hina (air mani).Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalam (tubuh)nya roh (ciptaan)Nya dan dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan, dan hati; (tapi) kamu sedikit sekali bersyukur. (as-Sajdah ayat 7-9). Sejalan dengan Muthahari dan ayat-ayat ini, maka manusia memiliki unsur paling lengkap dibanding dengan makhluk Allah yang lain. Selain unsur mineral, tumbuhan, dan hewan (fisis), ternyata manusia memiliki jiwa atau ruh. Kombinasi inilah yang
menjadikan manusia sebagai makhluk penuh potensial.
kelalaian manusia sendiri. “ Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam keadaan kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shaleh dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.” Mengenai kelalaian manusia, melalui surat
al-Ashr ini Allah selalu memperingatkan manusia untuk tidak menyia-nyiakan waktunya hanya untuk kehidupan dunia mereka saja. Bahkan Allah sampai bersumpah pada masa, untuk menekankan peringatan-Nya pada manusia. Namun, lagi-lagi manusia cenderung lalai dan mengumbar hawa nafsunya. Unsur-unsur dalam diri manusia. Membahas sifat-sifat manusia tidaklah lengkap jika hanya menjelaskan bagaimana sifat manusia itu, tanpa melihat gerangan apa di balik sifat-sifat itu. Murtadha Muthahari di dalam bukunya Manusia dan Alam Semesta sedikit menyinggung hal ini. Menurutnya fisik manusia terdiri dari unsur mineral, tumbuhan, dan hewan. Dan hal ini juga dijelaskan di dalam firman Allah : Yang membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknya dan memulai penciptaan manusia dai tanah. Kemudian Dia menjadikan keturunannya dari saripati air yang hina (air mani).Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalam (tubuh)nya roh (ciptaan)Nya dan dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan, dan hati; (tapi) kamu sedikit sekali bersyukur. (as-Sajdah ayat 7-9). Sejalan dengan Muthahari dan ayat-ayat ini, maka manusia memiliki unsur paling lengkap dibanding dengan makhluk Allah yang lain. Selain unsur mineral, tumbuhan, dan hewan (fisis), ternyata manusia memiliki jiwa atau ruh. Kombinasi inilah yang
menjadikan manusia sebagai makhluk penuh potensial.
Jika unsur-unsur ditarik garis lurus maka, ketika manusia didominasi oleh
unsur fisisnya maka dapat dikatakan bahwa ia semakin menjauhi kehakikiannya.
Dan implikasinya, manusia semakin menjauhi Allah SWT. Tipe manusia inilah yang
dalam al-Qur’an di sebut sebagai al-Basyar, manusia jasadiyyah. Dan demikianpun
sebaliknya, semakin manusia mengarahkan keinginannya agar sejalan dengan jiwanya,
maka ia akan memperoleh tingkatan semakin tinggi. Bahkan dikatakan oleh para
sufi-sufi besar, manusia sebenarnya mampu melampaui malaikat, bahkan mampu
menyatu kembali dengan sang Khalik. Manusia seperti inilah yang disebut sebagai
al-insaniyyah. Luar biasanya manusia jika ia mampu mengelola potensinya dengan
baik. Di dalam dirinya ada bagian-bagian yang tak dimiliki malaikat, hewan, tumbuhan,
dan mineral—satu persatu. Itu karena di dalam diri manusia unsur-unsur makhluk
Allah yang lain ada. Tidak salah bila dikatakan bahwa alam semesta ini
makrokosmos dan manusia adalah mikrokosmosnya.
Penutup
Manusia adalah manusia dengan segala potensialitasnya.
Manusia adalah manusia dengan segala potensialitasnya.
Ia dapat memilih mendayagunakan potensialitasnya atau mengabaikannya.
KONSEP
MANUSIA menurut Ninik, Asep dan Annisa
Terdapat tiga teori yang perlu diketahui mengenai asal – usul kejadian
manusia :
·
Pertama yaitu Teori Evolusi.
Teori ini pertama kali dikemukakan oleh seorang
sarjana Perancis J.B de Lamarck yang menyatakan bahwa
kehidupan berkembang dari tumbuh – tumbuhan menuju binatang dan dari binatang
menuju manusia. Teori ini merupakan perubahan atau perkembangan secara berlahan
– lahan dari tidak sempurna menjadi perubahan yang sempurna.
Teori revolusi ini merupakan perubahan yang amat
cepat bahkan mungkin dari tidak ada menjadi ada. Teori ini sebenarnya merupakan
kata lain untuk menanamkan pandangan pencipta dengan kuasa Tuhan atas
makhluk-Nya. Pandangan ini gabungan pemikiran dari umat manusia yang berbeda
keyakinan yaitu umat Kristen dan umat Islam tentang proses kejadian manusia
yang dihubungkan dengan keMaha Kuasaan Tuhan.
Dalam Ajaran Kristen dijumpai kisah kejadian manusia
dalam surat Kejadian 1-11 dan 12-50 tentang kisah oleh Martinus dalam “
Bagaimana Agama Kristen Memandang teori Darwin “.
Dalam ajaran Islam terbentuk opini dan tidak
berlebihan jika dikatakan sebagai keyakinan, bahwa manusia dan juga alam
semesta tercipta secara cepat oleh Kuasa Allah.Keyakinan tersebut merupakan
hasil interpretasi dari ayat–ayat Al-Quran dalam surat Al-Baqarah ayat 30
yang menjelaskan tetntang kejadian Adam yaitu “ Adam adalah suatu makhluk yang
diciptakan dari tanah yang diambil dari berbagai jenis yang kemudian dicampur
dengan air, dibentuk dan ditiupkan ruh kedalamnya, dan kemudian menjadi makhluk
hidup ”, serta Yasin ayat 82 yang berbunyi kun fayakun dengan
arti “ jadilah maka terjadilah dia ”.
·
Ketiga yaitu Teori Evolusi Terbatas.
Teori ini adalah gabungan pemikiran dari pihak-pihak
agama yang berlandaskan dengan alasan-alasan serta pembuktian dari pihak
sarjana penganut teori evolusi. Seperti yang dikemukakan oleh Frans Dahler,
yang mengakui bahwa tumbuh-tumbahan, binatang, dan manusia selama ribuan atau
jutaan tahun yang benar-benar mengalami mutasi (perubahan) yang tidak sedikit.
Menurut RHA. Syahirul Alim cendekiawan
Muslim ahli kimia menyatakan bahwa kita sebagai manusia harus merasa terhormat
kalau diciptakan dari keturunan kera karena secara kimia molekul-molekul kera
jauh lebih kompleks dibandingkan dengan tanah, karena tanah molekulnya lebih
rendah keteraturannya.
Menurut Al-Syaibani manusia dikelompokkan menjadi delapan
definisi,antara lain:
1.
Manusia sebagai makhluk Allah yang paling mulia
dimuka bumi
2.
Manusia sebagai khalifah dimuka bumi.
3.
Insan manusia sebagai makhluk sosial yang
berbahasa.
4.
Insan yang mempunyai tiga dimensi yaitu badan,
akal, dan ruh
5.
Insan dengan seluruh perwatakannya dan ciri
pertumbuhannya adalah hasil pencapaian dua factor, yaitu faktor warisan dan
lingkungan.
6.
Manusia mempunyai motivasi, kecenderungan, dan kebutuhan
permulaan baik yang diwarisi maupun yang diperoleh dalam proses sosialisasi.
7.
Manusia mempunyai perbedaan sifat antara yang
satu dengan yang lainnya.
b.
Eksistensi
dan Martabat Manusia
Eksistensi Manusia
Eksistensi Manusia dalam Pandangan
Hasan Mustapa
Perjanan kehidupan manusia digambarkan HHM secara sistematis dalam Naskan
Sasaka di Keislaman dan Naskah Matrabat Tujuh. Kedua naskah tersebut merupakan
naskah yang bersambungan dalam alur, namun berbeda dalam karakter serta
penekanan persoalan yang diungkap. Sementara itu, sejumlah (ribuah) bait (pada)
dangding (puisi tradisional) lebih merupakan pembahsaan melalui media sastra
berkenaan dengan persoalan yang diungkap dalam kedua naskah tersebut.
EKSISTENSI
MANUSIA DALAM PERSPEKTIF TASAWUF
Agama
sangat dibutuhkan oleh manusia dalam kehidupan. Agama menandai kekhasan manusia
sebagai makhluk yang paling sempurna dibanding makhluk lain. Peneguhan
eksistensi manusia menjadi orientasi agama.
Tasawuf
merupakan salah satu model penghayatan terhadap agama, yakni penghayatan
terhadap aspek batin agama. Spiritualitas mendapatkan prioritas dalam tasawuf,
tanpa mengesampingkan potensi kemanusiaan yang lain. Spiritualitas justru
menjadi “motor” peneguhan kemanusiaan, dengan mengaktualisasi segala potensi
kemanusiaan itu. Tasawuf merupakan fenomena keberagamaan yang telah melembaga.
Lebih dari itu, tasawuf berdampak juga terhadap aspek-aspek kehidupan lain.
PERMASALAHAN
DI SEKITAR TASAWUF
Terdapat
pendapat pro dan kontra tentang pengaruh tasawuf terhadap kehidupan umat Islam.
Pada satu sisi, tasawuf dituduh sebagai faktor penyebab kemunduran umat Islam.
Tasawuf dituduh mengajarkan kepasifan dan anti vitalitas. Tasawuf dituduh
melahirkan apatisme terhadap eksistensi kekinian manusia. Di sisi lain, tasawuf
justru diklaim sebagai upaya mempertahankan prinsip-prinsip agama dan
kemanusiaan di tengah ketidak-menentuan tata aturan kehidupan yang dipraktekkan
manusia (Lidinillah, 1995:1).
Perbincangan
tentang tasawuf menjadi semakin menarik dengan munculnya fenomena kesadaran
yang semakin intens di kalangan intelektual terhadap spiritualitas untuk
memperteguh eksistensi manusia. Kesadaran semacam itu menjadi motivasi orang
tertarik dan butuh dengan hidup secara spiritual. Salah satu jawaban terhadap
kebutuhan hidup secara spiritual ditemukan dalam tasawuf. Persoalan yang
menarik untuk dicari jawabannya secara lebih spesifik adalah makna eksistensi
manusia dalam perspektif tasawuf, kemungkinan kesanggupan jalan sufi jalan sufi
menjadi prosedur alternatif bagi upaya peneguhan kemanusiaan.
PERMASALAHAN
DI SEKITAR EKSISTENSI MANUSIA
Eksistensi
manusia menjadi bahasan aktual dalam filsafat, dan pernah sangat populer pada
kurun waktu tertentu sehingga muncul filsafat eksistensialisme. Filsafat
eksistensialisme merupakan suatu protes. Filsafat eksistensialisme menolak
mengikuti salah satu aliran, keyakinan, khususnya sistem filsafat yang ada
sebelumnya. Filsafat terdahulu bagi mereka bersifat dangkal, akademis, dan jauh
dari kehidupan. Hal itu harus diluruskan. Eksistensi manusia harusnya menjadi
titik pangkal pemikiran filsafat (Dagun, 1990:16).
Eksistensialisme
sebagai suatu gerakan filsafat merupakan suatu usaha yang lebih memadai untuk
memahami watak manusia sebagai individu. Munculnya eksistensialisme dalam
beberapa hal adalah suatu protes terhadap bentuk-bentuk rasionalisme yang
mengutamakan intelektualitas untuk memahami realitas. Eksistensialisme juga
merupakan reaksi terhadap kecenderungan yang lebih memandang manusia sebagai
suatu benda (a
thing)
daripada sebagai seorang pribadi (a person), eksistensialisme juga menekankan ide bahwa
terdapat unsur subjektif sebagaimana unsur objektif di dalam makna kebenaran
(Patterson, 1971:162).
Istilah
eksistensi mengalami perluasan arti. Istilah eksistensi pada mulanya menunjuk
pada pengalaman akan kenyataan. Segala yang bereksistensi dengan cara tertentu
harus terdapat dalam ruang dan waktu, dan harus merupakan objek cerapan indera
(Kattsof, 1986:209).
Kemudian,
istilah eksistensi menunjuk pada kesadaran manusia, yang dalam moralitasnya, dapat
mengekspresikan identitas dirinya. Istilah eksistensi dalam pengertian yang
pertama maupun kedua selalu mengarah kepada manusia. Istilah eksistensi
menjelaskan apa yang menentukan pengertian manusia terhadap dirinya sendiri
yang independen. Eksistensi bukan hanya berarti keberadaan manusia, tetapi juga
cara berada manusia yang bertolak dari kesadaran sebagai diri (Dagun, 1990:27).
Hakikat
manusia terletak dalam eksistensinya. Pemahaman terhadap eksistensi manusia
bertolak dari tiga aspek yang integral. Pertama, manusia merupakan keberadaan
jasmani yang tersusun dari bahan material. Kedua, keberadaan manusia tampak
sebagai sosok atau organisme hidup yang menyatu dalam tampilan individu
jasmani. Ketiga, manusia mempunyai ciri kehidupan mentransendensi dan
meneguhkan diri sebagai eksisten (Dagun, 1990: 8).
Apabila
peneguhan diri sebagai eksisten itu bertolak dan hanya mungkin dari
intelektualitas dan spiritualitas manusia, maka agama menyediakan fasilitas itu.
Agama pada dasarnya adalah cara untuk meneguhkan keberadaan manusia (modus of existence) (Fauzi, 1992: 155). Jalan
tasawuf relevan dengan persoalan eksistensi manusia. Tasawuf dapat menjadi
prosedur alternatif bagi upaya peneguhan diri, yakni peneguhan akan kedirian
manusia.
TASAWUF
SEBAGAI MODUS PENEGUHAN DIRI
Tasawuf
sebagai Mistisisme Khas Islam
Mistisisme
dalam arti sempit, searti dengan kata ekstase yang berarti berada di luar diri, mistisisme
dikaitkan dengan keadaan emosional yang luar biasa di mana orang kehilangan
kesadaran. Mistisisme, dalam arti luas, adalah berkenaan dengan segala
pengalaman non dan supra rasional, yang meliputi segala gejala di satu sisi
hilangnya kesadaran, dan di sisi lain meningkatnya kesadaran. Tujuan jalan
mistisisme adalah mengatasi keterbatasan sejarah, budaya, dan kepribadian agar
mencapai kesatuan dengan Yang Ilahi dan sekurang-kurangnya memberi kemungkinan
Yang Ilahi mendekati roh manusia (Crapps, 1993: 47).
Mistisisme
sering dianggap sama secara essensial, terlepas dari perbedaan agama yang
dianut para mistikus. Mistisisme dipandang sebagai gejala yang tetap dan sama
dari kerinduan universal manusia untuk bersatu dengan Tuhan. Anggapan semacam
itu dilatarbelakangi oleh kenyataan bahwa setiap gerakan keagamaan muncul dan
berkembang selalu berbenturan dengan keyakinan lain yang telah mapan, yang
cenderung memberikan pengaruh (Arberry, 1985: 7).
Tasawuf
adalah sebutan untuk mistisisme Islam. Terdapat berbagai pendapat mengenai
makna tasawuf ditinjau secara etimologis. Satu pendapat mengatakan, istilah
tasawuf berasal dari kata shafw atau shafaa yang berarti bersih.
Pendapat lain mengatakan, istilah tasawuf berasal dari kata shaff yang berarti barisan waktu
shalat. Pendapat yang lain mengatakan, istilah tasawuf berasal dari kata shuf yang berarti wol (Umarie,
1966: 9).
Pendekatan
definitif terhadap arti tasawuf juga beragam, yang secara garis besar dapat
diklasifikasikan dalam dua kelompok. Kelompok pertama memberi aksentuasi moral,
sedang kelompok kedua memberi aksentuasi mistik. Definisi Al-Junaid tentang
tasawuf dalam hal ini mewakili kelompok pertama, sedangdefinisi Ibn-Khaldun
mewakili kelompok kedua (Hamka, 1990: 4).
Definisi
tasawuf menurut Al-Junaid: Tasawuf ialah keluar dari budi perangai yang tercela
dan masuk kepada budi perangai yang terpuji. Definisi tasawuf menurut
Ibn-Khaldun: Tasawuf itu adalah semacam ilmu syar’iyah yang timbul kemudian dalam agama. Asalnya ialah
bertekun ibadah dan memutuskan pertalian dengan segala selain Allah, hanya
menghadap kepada Allah semata. Menolak hiasan-hiasan dunia, serta membenci
perkara-perkara yang selalu memperdaya orang banyak, kelezatan harta-benda, dan
kemegahan. Dan menyendiri menuju jalan Tuhan dalam khalwat dan ibadah”. Tasawuf mempunyai karakter khas yang
membedakannya dari mistisisme lain. Pertama, apabila kedua definisi tentang tasawuf
di atas diperhatikan dan dipahami secara utuh, maka akan tampak selain
berorientasi spiritual, tasawuf juga berorientasi moral (Lidinillah, 1995: 27).
Kedua,
sumber tasawuf adalah ajaran-ajaran Islam yang terdapat dalam ALQur’an dan Al-Hadits,
dan juga kehidupan para sahabat Rasulullah Muhammad SAW (Hamka, 1993: 37).
Seorang sufi pertama kali akan mencari petunjuk dan referensi bagi pembenaran
tindakannya dalam Al-Qur’an sebagai acuan utama. Dia juga akan mengacu kepada
Hadis Rasulullah Muhammad SAW sebagai sumber keterangan penjelas. Referensi
selanjutnya bagi aktivitas tasawufnya adalah pengetahuan dan tindakan para
pengikut setia Rasulullah Muhammad SAW. Pengalaman spiritual yang diperolehnya
sebagai penunjang semuanya itu (Arberry, 1985: 10). Esensi Islam dengan
berbagai aspek ajarannya adalah tauhid. Bila sumber tasawuf adalah ajaran Islam, maka
sendi pokok tasawuf adalah tauhid,
sehingga
tasawuf merupakan mistisisme khas Islam yang sepenuhnya monoteistik, bukan
panteistik seperti mistisisme lain (Lidinillah, 1995: 27).
Ketiga,
beberapa faham mistisisme berpendirian bahwa mistik adalah jalan individual.
Kesempurnaan spiritual mistisisme hanya dapat dicapai dengan meninggalkan
kehidupan sosial. Kehidupan social menghalangi manusia mencapai kesempurnaan
spiritual individu. Sendi pokok tasawuf adalah tauhid. Penghayatan yang intens
terhadap tauhid akan mengantarkan kepada pemahaman dan keyakinan bahwa
sebenarnya fitrah manusia itu hidup bermasyarakat. Kalimat tauhid La Ilaaha illallah dalam dimensi rububiyah dapat diungkapkan dalam
kalimat La
khalika illallah yang
berarti tidak ada pencipta kecuali Allah (Ilyas, 1989: 34). Implikasi keyakinan
tidak adanya pencipta kecuali Allah adalah keyakinan bahwa seluruh umat manusia
berasal dari satu pencipta dan karenanya manusia itu sederajat. Hikmah
diciptakannya manusia itu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku adalah untuk saling
mengenal dan mendekatkan diri satu dengan yang lain. (Q.S. 49:13). Inilah
pengakuan Islam terhadap sosialitas manusia. Tasawuf dengan demikian juga
berorientasi sosial (Lidinillah, 1995: 27).
Tasawuf
mengalami pasang-surut sejalan dengan sejarah perkembangan kehidupan umat
Islam. Tasawuf pada mulanya, abad pertama dan kedua hijriyah, lebih merupakan
reaksi terhadap kondisi moral dan sosial yang menyimpang. Tasawuf lebih
bersifat akhlaki. Pada abad ketiga dan
keempat hijriyah, ketika terjadi pembenturan antara keyakinan Islam dengan
keyakinan di luar Islam, tasawuf menjadi sarana untuk mencapai kepuasan
spiritual yang ditengarai dengan keberhasilan manusia menyatu dengan Tuhan.
Tasawuf lebih bersifat metafisik. Pada abad kelima hijriyah dan seterusnya,
muncul kesadaran bahwa tasawuf mesti dikembalikan kepada ruhnya yang semula,
yakni ruh Islam yang menjunjung tinggi nilai amal di samping kehidupan
spiritual, menekankan kehidupan sosial di samping kehidupan individual
(Asmaran, 1994: 249).
Eksistensi
Manusia dalam Islam
Motif
diciptakannya manusia, berdasarkan Al-Qur’an sebagai sumber utama ajaran Islam
dan sebagai pilar utama tasawuf, adalah untuk menjadi wakil Tuhan di bumi (khalifatullah fil
ardhi), hal
ini dijelaskan dalam surat Al-Baqarah ayat 30. Kedudukan sebagai wakil Tuhan di bumi merupakan
predikat yang luar biasa dan menempatkan manusia pada posisi yang lebih tinggi
dari makhluk lain. Wakil Tuhan di bumi adalah subjek yang mampu membaca dan
menafsirkan kehendak dan aturan-aturan Tuhan untuk kemudian dijelmakan menjadi
perilaku konkrit dalam rangka menjaga kemaslahatan bumi (Lidinillah, 2000:
106).
Tidak
semua manusia mampu menjadi wakil Tuhan. Untuk menjadi wakil Tuhan yang
sesungguhnya dibutuhkan syarat-syarat tertentu. Iqbal (1953) menyebutkan, untuk
menjadi wakil Tuhan seseorang harus “taat” dengan aturanaturan Tuhan dan harus
mampu mengendalikan diri, dengan dua kondisi itu kekhalifahan Tuhan dapat
dijalankan, dan eksistensi manusia sebagai wakil Tuhan di bumi diteguhkan.
Hakikat
manusia sebagai eksisten berdasarkan Al-qur’an surat Al-Mukminuun ayat 115
adalah ciptaan yang mempunyai fungsi dan bertanggungjawab atas fungsinya itu.
Manusia itu ciptaan Tuhan sebagaimana makhluk lainnya. Kelebihan manusia
dibandingkan dengan makhluk yang lain adalah terletak pada fungsi, yakni
kemampuan melaksanakan dan mempertanggungjawabkan fungsinya. Fungsi utama
manusia sebagai eksisten secara eksplisit dijelaskan dalam surat Adz-Dzariyat
ayat 56, yakni untuk mengabdi kepada Tuhan. Segala aktivitas kemanusiaan mesti
dimaknai sebagai suatu pengabdian. Kesadaran diri sebagai khalifah dan fungsi
pengabdian sebenarnya identik. Pengabdian merupakan jalan untuk meneguhkan
eksistensi manusia sebagai wakil Tuhan di bumi. Kesadaran diri sebagai khalifah
merupakan motif pengabdian yang total.
Relasi
Manusia-Tuhan sebagai Parameter Eksistensi Manusia
Tasawuf,
sebagai mistisisme yang berpangkal pada ajaran Islam, dalam segala bentuk dan
coraknya mempunyai kesamaan dalam hal orientasi. Manusia, dalam tasawuf, diakui
mempunyai kedudukan yang istimewa di hadapan Tuhan, yakni sebagai khalifahNya.
Menghadapkan manusia dengan Tuhan sebagai dua subjek berbeda dalam perbincangan
tasawuf adalah relevan. Tema pokok tasawuf biasanya berkisar pada kemungkinan
manusia “mendekati” Tuhan.
Esensi
Islam adalah tauhid, yakni keyakinan akan keesaan Tuhan dalam segala
dimensinya. Begitu pentingnya tauhid, sampai-sampai tidak ada toleransi bagi
pelanggaran terhadapnya. Untuk memantapkan tauhid, Al-Qur’an dalam berbagai
bagiannya mengajarkan transendensi Tuhan, meskipun dalam bagian yang lain
mengajarkan imanensi Tuhan. Al-Qur’an mengajarkan bahwa Tuhan berbeda secara
esensial dan bahkan mengatasi alam semesta; tetapi Tuhan juga menampakkan tanda-tanda
diriNya dalam alam semesta (Asmaran, 1994: 56). Ketegangan antara transendensi
dan imanensi Tuhan mempunyai makna tersendiri bagi para sufi. Bagi mereka,
benar bahwa Tuhan secara esensial berbeda dan bahkan mengatasi alam termasuk
manusia di dalamnya; tetapi bukan berarti Tuhan tidak dapat didekati oleh
manusia. Tanda-tanda Tuhan yang nampak pada alam semesta mengindikasikan bahwa
Tuhan mengijinkan dirinya “didekati” oleh manusia. Bagi para sufi, Tuhan dapat
didekati oleh manusia secara ruhaniah. Tasawuf adalah suatu cara mengabdi pada
Tuhan dalam kondisi kesadaran penuh bahwa Tuhan dekat dengan manusia. Tujuan
tasawuf adalah memperoleh hubungan langsung dan disadari dengan Tuhan, sehingga
seseorang akan betul-betul mencapai kesadaran bahwa dirinya berada di hadapan
Tuhan sebagai khalifahNya.
Berdasarkan
pemahaman tentang relasi Tuhan-manusia di atas, keteguhan manusia sebagai
eksisten bagi para sufi didasarkan pada hal-hal berikut. Pertama, kemampuan
manusia mencapai hubungan langsung secara ruhaniah dengan Tuhan. Kedua,
kemampuan manusia menyadari bahwa dirinya di hadapan Tuhan adalah khalifahNya.
Ketiga, kemampuan manusia mengaktualisasikan hubungan langsung dengan Tuhan dan
kesadaran diri sebagai khalifahNya dalam perilaku konkrit, yakni menjaga
kemaslahatan dunia.
Prosedur
Peneguhan Diri
Para
sufi dari berbagai corak tasawuf memiliki pandangan yang relatif sama mengenai
orientasi tasawuf, yakni mencapai hubungan langsung, sadar, dan sedekat mungkin
dengan Tuhan. Perbedaan yang muncul di antara mereka adalah dalam hal prosedur
untuk pencapaiannya.
Tasawuf
akhlaki lebih menekankan pembinaan mental melalui pengendalian nafsu dalam
upaya mendekatkan diri dengan Tuhan. Manusia cenderung mengikuti nafsu. Kondisi
semacam itu dapat merusak mental, dan menghalangi orang untuk dekat dengan
Tuhan. Nafsu sebagai kelengkapan diri manusia memang tidak seharusnya
dimatikan, tetapi tidak selayaknya apabila selalu diperturutkan. Prosedur mendekatkan
diri pada tasawuf akhlaki meliputi rangkaian tiga fase yang berturutan. Langkah
pertama adalah takhalli, yakni membersihkan diri dari sifat-sifat dan hal-hal
tercela, melepaskan diri dari ketergantungan duniawi. Langkah kedua adalah
tahalli, yakni mengisi diri dengan sifat dan hal-hal terpuji. Langkah ketiga
adalah tajalli, yakni terungkapnya nur Ilahi bagi hati (Asmaran, 1994: 240).
Tasawuf
amali lebih menekankan pembinaan moral dalam upaya mendekatkan diri kepada
Tuhan. Untuk mencapai hubungan yang dekat dengan Tuhan, seseorang harus
mentaati dan melaksanakan syariat
atau
ketentuanketentuan agama. Ketaatan pada ketentuan agama harus diikuti dengan
amalanamalan lahir maupun batin yang disebut tariqah. Dalam amalan-amalan lahirbatin itu orang akan mengalami
tahap demi tahap perkembangan ruhani. Ketaatan pada syari’ah dan amalan-amalan
lahir-batin akan mengantarkan seseorang pada kebenaran hakiki (haqiqah) sebagai inti syariat dan akhir tariqah. Kemampuan orang
mengetahui haqiqah
akan
mengantarkan pada ma’rifah, yakni mengetahui dan
merasakan kedekatan dengan Tuhan melalui qalb. Pengalaman ini begitu jelas, sehingga jiwanya
merasa satu dengan yang diketahuinya itu.
Tasawuf
falsafi memadukan visi mistis dengan visi rasional. Dalam tasawuf falsafi, maqam tertinggi yang dapat
dicapai manusia bukan hanya sampai pada ma’rifah; tetapi manusia bisa mencapai maqam yang lebih tinggi lagi
yakni persatuan dengan Tuhan. Masalah persatuan manusia-Tuhan adalah masalah metafisik,
bukan semata masalah mistis saja. Kondisi menyatu dengan Tuhan itu tiap sufi
menyebutnya dengan istilah berbeda.
Abu
Yazid Al-Bustami menyebutnya Ittihad yang berarti kesatuan, yakni kesatuan
Tuhan-manusia. Al-Hallaj menyebutnya hulul, yang berarti menjelma, yakni Tuhan menjelma dalam
manusia dan manusia menjelma dalam Tuhan. Ibn ‘Arabi menyebutnya wahdah-al wujud, yakni kesatuan wujud
Tuhan dan manusia, dua bentuk dalam satu hakikat,Tuhan adalah manusia dan
manusia adalah Tuhan. Suhrawardi menyebut dengan isyraq, yang berarti iluminasi atau pancaran, yakni Tuhan
memancar dalam manusia (Hamka, 1994: 93-116) . Konsep-konsep tentang
kemungkinan manusia “bersatu” dengan Tuhan tersebut di atas menjadi pokok
perbincangan yang hangat dalam tasawuf, selalu terdapat pendapat pro-kontra
mengenai persoalan tersebut.
Kecenderungan
Sosial sebagai Prosedur Tasawuf
Pada
beberapa sufi, upaya pembangunan mental-spiritual dalam rangka mendekatkan diri
dan bahkan kalau mungkin “bersatu” dengan Tuhan dilakukan dengan cara-cara yang
boleh dikatakan anti sosial. Mereka menempuh jalan sufi dengan cara uzlah (menyendiri) dari kehidupan
sosial. Mereka bersemedi pada suatu tempat tertentu, sehingga ruhani mereka
tidak tercemar oleh hiruk-pikuk persoalan duniawi yang dapat mengotorkan hati.
Gejala ini nampak pada sufi abad I dan II Hijriyah, sebagian sufi abad III dan
IV Hijriyah(Asmaran, 1994, 249). Pada abad I dan II Hijriyah para sufi menempuh
jalah zuhd (menjauhi hidup duniawi)
untuk mencapai kebersihan ruhani. Sementara pada abad III dan IV Hijriyah,
berkembang dua kelompok sufi. Pertama, kelompok yang berfaham moderat, yang
ajaran mereka selalu merujuk pada Al-Qur’an dan hadits. Mereka sangat
menekankan pentingnya moralitas. Kedua, kelompok yang menekankan faham fana (hilang dalam Tuhan).
Kelompok kedua inilah yang mempunyai kecenderungan anti sosial.
Beberapa
literatur mengilustrasikan, anti sosial dalam tasawuf nyata-nyata telah
memposisikan peradaban Islam berada di belakang peradaban Barat. Akibatnya,
muncul kesadaran sosial baru dalam tasawuf. Hal tersebut nampak pada
perkembangan tasawuf abad V hijriyah dan seterusnya, dengan munculnya tasawuf
Suni, tasawuf yang menyandarkan diri pada Al-Qur’an dan Hadits.
Islam
mengajarkan, Allah telah mengangkat manusia sebagai khalifahNya, memberikan hak
istimewa, menentukan kewajiban, dan tanggungjawab. Tubuh adalah fasilitas bagi
ruh untuk melaksanakan semua ketentuan itu, tubuh bukanlah penjara bagi ruh.
Dunia bukan hukuman bagi manusia, tetapi lapangan bagi pelaksanaan ketentuan
kewajiban. Segala sesuatu di bumi ditetapkan untuk pembebasan jiwa manusia.
Bakat dan dorongan hati manusia telah melahirkan peradaban, budaya, dan sistem
sosial (Maududi, 1983, 89).
Masyarakat,
dengan demikian, justru menyediakan fasilitas dan merupakan ajang pembangunan
ruhani. Tempat yang sebenarnya bagi pertumbuhan dan perkembangan ruhaniah
terletak di tengah-tengah aktivitas kehidupan sosial, bukan di tempat tempat
sunyi pertapaan. Spiritualitas dan sosialitas harus berjalan bersama dalam
Islam, bahkan semua aspek kemanusiaan merupakan bagian yang integral
(Lidinillah, 1995, 20). Aksentuasi sosial, selain aksentuasi moral-spiritual
merupakan trend baru tasawuf abad V hijriyah hingga sekarang. Kenyataan tersebut
semakin mempopulerkan tasawuf sebagai jalan membangun kemanusiaan dalam segala
aspeknya. Orang semakin menaruh harapan terhadap kemungkinan tasawuf sebagai
alternatif peneguhan kemanusiaan, peneguhan eksistensi manusia.
KESIMPULAN
1. Eksistensi manusia dalam
perspektif tasawuf dimaknai dalam dua hal. Pertama, eksistensi manusia dimaknai
sebagai keberadaan manusia berhadapan dengan Tuhan. Dalam konteks ini, manusia
sebagai eksisten adalah wakil Tuhan di bumi. Subjek yang mengemban amanah
menjaga kemaslahatan bumi sesuai kehendak Tuhan. Kedua, eksistensi manusia
dimaknai sebagai cara berada manusia yang bertolak dari kesadaran diri sebagai
wakil Tuhanmu di bumi.
2. Untuk memahami kehendak
Tuhan manusia mesti berusaha mendekatkan diri dengan Tuhan melalui pengabdian
total.
3. Kedekatan diri manusia
dengan Tuhan adalah orientasi setiap aliran tasawuf, bahkan tasawuf falsafi
memahami dan memaknai kedekatan hubungan Tuhanmanusia lebih jauh lagi. Semakin
dekat diri manusia dengan Tuhan makin sempurna dirinya sebagai khalifah Tuhan,
makin teguh eksistensinya.
4. Perbedaan prosedur dalam
upaya mencapai kedekatan dengan Tuhan bukanlah perbedaan yang prinsipiil.
Perbedaan itu justru menunjukkan adanya peluang untuk saling melengkapi.
5. Aksentuasi sosial, di
samping aksentuasi moral-spiritual memposisikan prosedur mistis sebagi
alternatif bagi manusia untuk mengaktualisasikan potensi kemanusiaannya dan
meneguhkan diri sebagai eksisten
6. Persoalan metafisik dalam
tasawuf falsafi belum merupakan perbincangan final.
MARTABAT MANUSIA DALAM ISLAM
Manusia adalah makhluk ciptaan
Allah yang misterius dan sangat menarik. Dikatakan misterius karena semakin
dikaji semakin terungkap betapa banyak hal-hal mengenai manusia yang belum
terungkapkan. Dan dikatakan menarik karena manusia sebagai subjek sekaligus
sebagai objek kajian yang tiada henti-hentinya terus dilakukan manusia
khususnya para ilmuwan. Oleh karena itu ia telah menjadi sasaran studi sejak
dahulu, kini dan kemudian hari. Hampir semua lembaga pendidkan tinggi mengkaji
manusia, karya dan dampak karyanya terhadap dirinya sendiri, masyarakat dan
lingkungan hidupnya.
Para ahli telah mengkaji manusia
menurut bidang studinya masing-masing, tetapi sampai sekarang para ahli masih
belum mencapai kata sepakat tentang manusia. Ini terbukti dari banyaknya
penamaan manusia, mialnya homo sapien (manusia berakal), homo economicus
(manusia ekonomi) yang kadangkala disebut economic animal (binatang ekonomi),
Al-insanu hayanawanun nathiq (manusia adalah hewan yang berkata-kata) dsb.
Al-Qur’an tidak menggolongkan
manusia ke dalam kelompok binatang (animal) selama manusia mempergunakan
akalnya dan karunia Tuhan yang lainnya. Namun, kalau manusia tidak mepergunakan
akal dan berbagai potensi pemberian Tuhan yang sangat tinggi nilainya yakni
pemikiran (rasio), kalbu, jiwa, raga, serta panca indera secara baik dan benar,
ia akan menurunkan derajatnya sendiri menjadi hewan seperti yang dinyatakan
Allah di dalam Al-Qur’an:
Artinya:...”mereka
(jin dan manusia) punya hati tetapi tidak dipergunakan untuk memahami
(ayat-ayat Allah), punya mata tetapi tidak dipergunakan untuk melihat
(tanda-tanda kekuasaan Allah), punya telinga tetapi tidak mendengar (ayat-ayat
Allah). Mereka (manusia) yang seperti itu sama (martabatnya) dengan hewan
bahkan lebih rendah (lagi) dari binatang”. (QS. Al- A’raf:179)
Didalam Al-Qur’an manusia disebut
antara lain dengan bani Adam (Q.S. Al-Isra:70), basyar (Q.S. Al-Kahfi:10),
Al-Insan (Q.S. Al-Insan:1), An-Nas (Q.S. an-Anas(114):1). Berbagai rumusan
tentang manusia telah pula diberikan orang. Salah satu diantaranya,
ber-dasarkan studi isi Al-Qur’an dan Al-Hadist, berbunyi (setelah disunting)
sebagai berikut: Al-insan (manusia) adalah makhluk ciptaan Allah yang memiliki
potensi untuk beriman (kepada Allah), dengan mempergunakan akalnya mampu
memahami dan mengamalkan wahyu serta mengamati gejala-gejala alam, bertanggung
jawab atas segala perbuatannya dan berakhlak (N. A. Rayid, 1983:19)
c.
Tanggung
Jawab Manusia sebagai Hamba Allah dan Khalifah Allah
Manusia di tuntut untuk aktif dalam kehidupan di dunia.
Aktif dalam arti positif. Aktif dalam upaya mendekatkan diri kepada Allah.
Aktif dalam usaha mencari kebutuhan hidup yang diberikan Allah. Pencarai
kehidupan dan bekal hidup dilakukan berdasarkan rambu-rambu yang telah
dibuat oleh Allah. Dalam kerja aktif tersebut ia selalu mengedepankan rasa iman
dan keteguhan dalam memegang prinsip ketuhanan.
Sebagai makhluk Allah yang diperintahkan untuk taat, menjadikan manusia
makhluk yang mempunyai derajat tinggi jika ia mampu membawa dan
bertanggungjawab atas amanah tersebut. Amanah dan perintah Allah keada manusia
adalah untuk menjadi khalifah di bumi dan sekaligus sebagai hamba yang harus
patuh dan tunduk dengan aturan Allah. Manusia sebagai hamba, disuruh dan
diperintahkan oleh Allah untuk beribadah dan mengabdi sesuai dengan kemampuan
yang dimilikinya. Allah berfirman,” dan aku tidak menciptakan jin dan manusia
melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku. (QS. Adz-Dzariat:56).
Sebagai makhluk Allah manusia dituntut untuk beribadah dengan segala
kemampuan yang dimilikinya. Beribadah dengan aspek dan skill yang telah ia
kuasai dan ia miliki. Tidak ada paksaan untuk melakukan yang tidak sanggup
dilakukan, tetapi jika telah sepakat dan komit untuk masuk islam maka usaha
untuk berbuat baik disesuaikan dengan kemampuan yang dimiliki. Tetapi jika
meninggalkan maksiat dan dosa maka hal itu harus mutlak dilakukan tanpa ada
kata kecuali. Tetapi dalam masalah ibadah jika tidak mampu maka lakukan yang
mampu dan kita bias untuk itu, jika belum mampu ada usaha yaitu bertanya kepada
yang tahu, atau mencari ilmu tetang hal-hal yang belum kita ketahui.
Begitu juga sebagai khalifah, manusia bertindak dan bertutur
kata ada pertanggungjawaban, karena esensi dari khalifah adalah
adanya tanggung jawab terhadap apa yang di pimpinnya. Khalifah adalah
pengganti, dapat juga berarti pimpinan, khalifah adalah pengganti Allah di muka
bumi, rrasul adalah satu contoh ahlifah Allah di muka bumi. Allah berfirman.
ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada Para Malaikat: "Sesungguhnya aku
hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." mereka berkata:
"Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan
membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, Padahal Kami Senantiasa
bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman:
"Sesungguhnya aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui."(QS.
Al_baqarah:30).
Dalam ayat tersebut dapat dipahami bahwa manusia adalah khalifah
pengganti manusia sebelumnya. Pemahaman ini dapat dicermati dari ungkapan para
malaikat. Sayyid Qutub menyatakan ada empat kemungkinan para malaikat
mengetahui keadaan umat sebelum Adam, dengan beberapa argument, ertama
mengetahui secara pasti, eksperimen yang telah lalu, ilham yang dimilikinya,
kecederungan kehidupan manusia di dunia. menurut Quraish Shihab manusia sebagai
khalifah sebenarnya harus mengacu kepada ketentuan Tuhan, tidak ada sikap
dan tingkah laku khalifah yang bertentangan dengan aturan Allah. Kemudian
dalam posisinya sebagai khalifah tidak lepas dari hubungannya dengan manusia,
alam dan Tuhan sebagai pemberi mandat.
Di dunia manusia diberi mandat untuk mendayagunakan bumi untuk
kemaslahatan dan kemakmuran mereka sendiri. Di sisi lain, manusia diberi
kebebasan untuk memilih, apa yang ia inginkn, tetapi semua pilihan tersebut ada
akibatnya, baik akibat baik maupun akibat buruk dari pilihannya tersebut.
Manusia diciptakan untuk mengabdi, bukan untuk main-main di dunia ini. Dikirim
ke dunia bukan untuk santai-santai tetapi untuk bekerja, beramal soleh untuk
bekal hidup yang lebih kekal.
Tidak heran jika manusia tidak berubah hidupnya, tidak ada kemajuan
dalam kehidupannya. Hal itu karena manusia tidak mampu mengubah dirinya.padahal
Allah menyatakan bahwa tidak akan berubah nasib suatau bangsa ata nasib
seseorang jika tidak ada kemauan dalam dirinya untukberubah, hal ini dapat
dipahami dari firman Allah daam surat ar-Radu, bagi manusia ada
malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di
belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak
merobah Keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri
mereka sendiri. dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum,
Maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi
mereka selain Dia.(QS.Ar-Radu:11).
Manusia diberi Allah mandat di muka bumi sebagai khalifah, dengan mandat
tersebut manusia mempunyai tugas sebagai berikut, pertama memakmurkan
bumi, “dan kepada Tsamud (kami utus) saudara mereka shaleh. Shaleh berkata:
"Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada bagimu Tuhan selain
Dia. Dia telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu
pemakmurnya, karena itu mohonlah ampunan-Nya, kemudian bertobatlah kepada-Nya,
Sesungguhnya Tuhanku Amat dekat (rahmat-Nya) lagi memperkenankan (doa
hamba-Nya)."(QS. Huud:61). Untuk memakmurkan bumi manusia diberi Allah
kemampuan, skill untuk membangun bumi ini, manusia diberi potensi untuk hidup
dinamis dan mempunyai potensi yang menunjang fungsinya sebagai khalifah di muka
bumi ini.” dan ingatlah olehmu di waktu Tuhan menjadikam kamu
pengganti-pengganti (yang berkuasa) sesudah kaum 'Aad dan memberikan tempat
bagimu di bumi. kamu dirikan istana-istana di tanah-tanahnya yang datar dan
kamu pahat gunung-gunungnya untuk dijadikan rumah; Maka ingatlah nikmat-nikmat
Allah dan janganlah kamu merajalela di muka bumi membuat kerusakan.”(QS.
Al-Araf:74).
Selain memakmurkan bumi manusia mempunyai tugas untuk menegakkan keadilan
dan kebenaran. Menegakkan keadailan dan kebenaran tanpa pandang seiap orangnya,
siapa pelakukanya. Memutuskan perkara sesuai dengan aturan Allah,
dengan mengutamakan keadilan untuk sesama. Hai Daud, Sesungguhnya Kami
menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, Maka berilah keputusan
(perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa
nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya
orang-orang yang sesat darin jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena
mereka melupakan hari perhitungan. (QS. Hud:26).
Di samping mempunyai peran memakmurkan bumi, menegakkan keadilan,
manusia juga mempunyai fungsi untuk menjadi motivator dan dinamisator
bagi pembangunan. Hal ini dapat dicerminkan dari tingkah laku, akhlak, dan
tutur kata. Dalam arti hidupnya penuh dengan nuansa ketaatan dan kepatuhan
kepada aturan Allah.. Kami telah menjadikan mereka itu sebagai pemimpin-pemimpin
yang memberi petunjuk dengan perintah Kami dan telah Kami wahyukan kepada,
mereka mengerjakan kebajikan, mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, dan
hanya kepada kamilah mereka selalu menyembah,(QS. Al-Anbiya:73)
Dari ayat tesebut dapat dipahami bahwa sebagai khalifah Allah di bumi
manusia diberi tanggungjawab dan kewajiban kepada Allah yaitu, mengerjakan
kebajikan, mendirikan salat, membayarkan zakat, memurnikan penyembahan hanya
kepada Allah. Dengan demikiian manusia sebagai khalifah Allah di bumi hendaknya
berperilaku dan bertindak sesuai dengan kontek ayat tersebut. Sebagai khalifah
Allah di bumi manusia diharuskan untuk berbuat baik, berbuat amal soleh kepada
siapapun, hal ini dapat di pahami dari perintah Allah tersebut, bahwa sebagai
khalifah Allah manusia berkewajiban berbuat kebaikan, kebajikan,berbuat baik
dan kebajikan dalam kontek ayat tersebut masih bersifat umum. Sehingga ada
peluang dan celah pemahaman bahwa berbuat baik tidak hanya untuk orang Islam
saja, tetapi kepada semua makhluk Allah.hal inididasarkan pada makna ayat
tersebut yang berlaku umum. Jadi berbuat baik tidak hanya untuk kalangan Islam
, tetapi juga kepada umat-umat yang beragama berbeda.
Di sisi lain, khalifah Allah di bumi mempunyai sifat seperti diungkap
dalam ayat tersebut, pertama yang suka berbuat kebajikan, kedua,
mendirikan salat, ketiga, membayarkan zakat, memurnikan penyembahan hanya
kepada Allah. Jikadalam diri manusia ada sifat tersebut maka pada dasarnya ia
telah memenuhi criteria sebagai khlaifah Allah. Dan sebaliknya jika manusia
belum mempunyai sifat-sifat yang telah diungkap Allah dalam ayat tersebut maka
ia belum dikatakan sebagaikhalifah Allah atau wakil Allah di bumi. Sebagai
wakil Allah manusia mempunyai tugas berat yaitu memmurkan bumi,
memelihara bumi dan melaksanakan berbagai aktivitas sebagai sarana
penyembahan dan pengabdian yang tulus kepada Allah.
DAFTAR SUMBER BAHAN
Comments